28 Des 2013

Posisikan Rasulullah Sebagai Panutan Bukan Sebagai Ukuran Persamaan

Pernah aku sampaikan bahwa dalam memposisikan Rasulullah adalah sebagai panutan (qudwah), bukan sebagai ukuran persamaan (qiyas).

Sebab menjadikan Rasulullah sebagai ukuran persamaan,analogi, qiyas adalah kesalahan pemikiran cukup fatal yg menyeret banyak hal negatif

Semisal ada yg berkomentar soal menikahi anak di bawah umur, atau perihal poligami, lalu untuk melegalkan perbuatannya itu, membawa2 Nabi

Atau semisal ada soal dalam amaliah (ini biasanya dipakai tukang pembid'ah dalam menyalahkan) dg mengatakan kepada yg dianggap berbid'ah

"Apa kamu merasa lebih baik dari Nabi sehingga membuat amalan baru?". Kalimat ini hanya muncul dari orang yg salah memposisikan Nabi

Karena seawam-awamnya orang Islam, nggak akan terlintas di benaknya bahwa dia merasa lebih baik dari Nabi. Apalagi orang berpendidikan

Dan orang yg menembak muslim lain dg statemen tadi, acapkali dalam cara berpikirnya (tanpa ia sadari) menjadikan Nabi sbagai analogi

Karena memposisikan Nabi sebagai ukuran persamaan dengan dirinya dan perilakunya adalah puncak kekurangajaran, muntaha su-ul adab

Contoh sederhana sekali, semisal dia menikah umur 25 lalu bilang, Nabi jg nikah umur 25, bilangnya menyamakan, bukan mengikuti.

Apa dia tidak sadar umurnya yg 25 ini sudah dapat apa, sementara Nabi saat usia 25 itu sudah seperti apa.

Atau semisal (ini yg sering dipropagandakan) perihal pendirian sistem pemerintahan Islam, tanpa melihat apa yg dilakukan Nabi sebelumnya

Karena kita, setakwa apapun, sepandai apapun, tak akan pernah bisa mensetarakan diri dengan para Nabi, mereka adalah qudwah,panutan kita

Di Qur'an dikatakan "laqod kana lakum fi Rosulillahi uswah" (panutan) bukan "laqod kana lakum fi Rosulillah miqyas" (ukuran persamaan).

Termasuk contoh efek negatif dari mensetarakan diri dg Nabi adalah malah membawa ummat ini mundur ke belakang.

Segala hal harus sama dengan zaman Nabi. Akhirnya malah yg terlintas di benak kita adalah zaman yg gersang dan kuno sekali.

Itupun praktek perilaku yang dipakai bukan perilaku yg dicontohkan Nabi, tapi perilaku sebagian arab yg masih jahiliah saat itu, kaku.

Dan tentu saja (membawa ummat ke belakang) adalah malah contoh nyata dari bid'ah. Sebab Nabi tidak mengajarkan hal itu.

Nah, jika kita bisa dg baik menjadikan Nabi sebagai qudwah, maka justru kita akan semakin maju sekaligus bertakwa dg benar

Dan itu yg dipraktekkan dg baik oleh para salaf shaleh kita sehingga Islam mencapai puncak keemasan dalam segala hal.

Sebab seluruh ajaran para Nabi adalah mendorong ummatnya untuk maju dan tidak berpikiran kaku.

Dan satu2nya jalan untuk itu, adalah dg menjadikan Nabi sebagai qudwah (panutan), bukan sebagai miqyas (ukuran persamaan).

Semoga bisa jadi bahan introspeksi diri. Apa sudah benar cara kita memposisikan Nabi. Selamat sore.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar