Kemarin ada yang bertanya kepadaku perihal bagaimana kepemimpinan wanita dalam Islam.
Sebelumnya, di masyarakat manapun di seluruh dunia, "kepemimpinan" wanita atas pria masih tetap dirasa kurang sreg oleh kaum pria
Ini bukan soal demokrasi atau apa, tapi ini adalah tabiat pria. Jadi kalau di negara2 muslim diangkat Isu ini, tak lebih dibohongi saja
Alasan persamaan, emansipasi, mempolitisir ayat2 dan hadits2, cenderung lebih kepada kepentingan saja (seperti beberapa partai)
Namun hakikatnya seperti apa syariat memandang posisi wanita perihal kepemimpinan mereka dalam suatu komunitas/kelompok masyarakat?
Yang pasti terjadi diskusi panjang lebar di sana, terjadi pro kontra, dan banyak buku/kitab yg ditulis soal ini, juga fatwa2
Dan dinamika ini muncul dari pemahaman yang berbeda menyikapi hadits Nabi yg berbunyi "la yaflahul qoum wallat amrohu imro-ah" atau bgtu
Bahwa suatu bangsa tak akan sukses jika dipimpin oleh wanita. Nah, muncul banyak sekali penafsiran soal hadits ini
Bagi yang cara berpikirnya suka keras2, sangat kanan, langsung begitu saja bahwa wanita haram memimpin (demen betul main haram2an)
Bagi yang kiri bilang bahwa hadits ini sudah tidak zamannya lagi, jadi tidak usah dipakai (mudah betul main batalin hadits/ayat)
Nah tinggal golongan yang berpikir moderat, apa tanggapan mereka soal hadits ini? juga bagaimana eksplorasi mereka atas dalil?
Apa juga komentar mereka dalam menafsirkan ayat Arrijaluna Qowwamuna Alan Nisa'?
Secara garis besar saja (kesimpulan atas referensi yg aku pelajari), pertama kita harus letakkan dalil pada tempatnya masing2
Oleh para pakar fiqih diartikan bahwa yang dimaksud Nabi perihal ketidaksuksesan itu adalah pada kepemimpinan mutlak
Dalam hal ini adalah kekuasaan tertinggi atau al-Imamah al-Udhma. Maka pada posisi ini wanita tdk bisa menempatinya
Dan inipun kekuasaan atas ummat seluruhnya secara mutlak, bukan kekuasaan atas wilayah tertentu yg sebenarnya perwakilan saja
Maka seorang wanita tak jadi soal memimpin suatu komunitas apabila keputusan tak sepenuhnya di tangan dia
dan di alam demokrasi hal ini pun (pembatasan kekuasaan) sangat lumrah sekali, tanpa melihat gender pemimpinnya
Maka semisal ada wanita menjabat menteri (kepala departemen), bupati, gubernur,tak jadi soal,sebab masih ada "kekuasaan" lain di atasnya
Perihal wanita jadi kepala suatu departemen sendiri telah ada sejak zaman khilafah. tepatnya pada masa Umar bin Khattab
Saat itu beliau menunjuk As-Syaffa' binti Abdillah yang bertugas memanage perputaran ekonomi dan mengawasi kebijakan pasar
Sedangkan kata "Qowwamuna" pada dasarnya lebih terbatas lagi wilayahnya, yaitu dalam rumah tangga. bukan soal kepemimpinan
Yakni kaum pria (dengan kodrat penciptaannya) bertanggungjawab atas anggota keluarganya yang wanita
Ayat ini sama sekali bukan pembatas gerak kaum wanita (seperti yg dipahami salah oleh sebagian orang), tapi menunjukkan posisi pria
Sebab ada yang mengartikannya bahwa wanita tidak boleh kerja, tidak boleh menjadi pemimpin, sebab ayat itu
Akar masalah dari pemahaman ini adalah (lagi-lagi) sebab kegemaran memotong ayat seenaknya tanpa membaca ayat dg utuh
Karena prakteknya sejak zaman Nabi kaum wanitapun terbiasa bekerja membantu suami dan menopang ekonomi rumah tangganya
Intinya perihal kepemimpinan wanita, jika regional, atau kekuasaanya terbatasi oleh aturan bersama, tidak jadi masalah dan boleh2 saja
Yang tidak dibolehkan (dari hasil ijma' fuqoha') adalah kekuasaan tertinggi setingkat khilafah atau sistem monarki absolut.
Adapun yg terjadi di negara kita (semisal ada calon wanita yang maju) lalu ada yg pakai dalil2 ini,itu jelas sekali permainan politik saja
Terlebih negara kita tidak pakai hukum Islam, jadi terlihat betul apa maunya dia (dan partainya) dengan menyitir dalil2 itu.
Alhasil keluar dari permainan politik bangsa kita (yang sangat mudah dibaca), seperti itu tadi syariat memandang kepemimpinan wanita
Semoga mencerahkan dan menambah wawasan. Wallahu a'lam
Ralat ayat, ada typo.. yg benar "Arrijalu qowwamuna alan Nisa' ", bukan arrijaluna... mohon maaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar